OPINI
TEKSISME PENDIDIKAN
Wajah
pendidikan kita masa kini tergurat oleh berbagai masalah yang masih terkandung
dalam rahim kesadarannya. Guratan-guratan ini mencerminkan adanya kegelisahan dan
kegusaran yang sudah lama terpendam sebagai akibat dari kurikulum dan sistem yang belum menunjang proses pendidikan humanis dan
selaras zaman. Dalam pentasnya pada era
persaingan yang mengglobal, pendidikan sebagai sosok yang murni dan memiliki otoritas yang tinggi
untuk mencuci mental manusia mengalami tantangan tatkala ia beradaptasi dengan
lingkungan global yang serba maju dan canggih.
Setumpuk masalah yang masih diperdepatkan dan menjadi
perbincangan yang hangat ditengah masyarakat yang ada kaitannya dengan kurikulum dan sistim pendidikan kita saat ini. Salah satu pentalan
debu yang terhempas dari setumpuk masalah pendidikan kita saat ini yang mengaburi
sanubari kita adalah Sistem Pendidikan Yang Melahirkan Masyarakat Teks. Ada secuil ganjalan
yang menjadi penghalang visi, misi dan cita-cita pendidikan kita masa kini
yang tidak selaras dengan pandangan bapak pendahulu kita Ki Hakar Dewantara. Terdapat lalang “teksisme” yang tumbuh bersama tunas-tunas muda dalam ladang pendidikan kita. Lalang-lalang ini menghambat jalannya visi, misi, tujuan dan sasaran pendidikan
menuju
humanis.
Apa itu Teksisme? Teksisme ialah
paham atau pandangan yang menganggap bahwa faktor penentu keberhasilan dan
kesuksesan manusia adalah nilai teks.
Nilai teks ini diproses dengan cara pembubuhan nilai yang subjektif dan objektif di atas kertas untuk mendapatkan gelar atau profesi tertentu
sehingga menjadi label mental yang
valid. Konkrit dari proses teksisme ini yang sering muncul dan bahkan sudah menjadi budaya dalam sistim
pendidikan kita sampai saat ini adalah sistem ujian nasional (UAN) untuk
mendapatkan izasah. Nilai teks UAN bertujuan sebagai indeks prestasi, kususnya indeks
prestasi kognitif siswa setelah mengikuti UAN. Nilai teks ini (UAN) pada akhirnya akan terbubuh pada izasah.
Pada dasarnya, jika dilihat
dari isi kurikum saat ini proses penilaian hasil
belajar siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran harus mecakup tiga ranah yaitu
ranah kognitif, afektif dan psikomotor dan ini sesuai dengan pandangan
filosofis Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan harus bermaura pada pembentukan
budi pekerti. Ketiga ranah ini harus dijadikan ukuran mutlak dan seimbang dalam
menilai hasil belajar siswa. Apakah sistem penilaian UAN siswa berpedoman pada
ke tiga ranah ini? Kenyataan yang terjadi selama ini bentuk penilaian UAN hanya
terfokus pada ranah kognitif saja. Sehingga hasil penilaiannya terkesan tidak
objektif. Nilai yang menjadi
indeks prestasi dan keberhasilan seorang induvidu dipersepsi secara objektif untuk mengukur
tataran tingkat kecerdasan atau keberhasilan seseorang atau sekelompok orang siswa. Masyarakat teks
adalah masyarakat yang mental dan kepribadiannya ditentukan oleh nilai teks yang
sudah mendarah daging (stereotipe) yang bersumber dari sistem dan kurikulum
pendidikan teksisme.
Mengapa harus pendidikan yang menjadi cikal bakal teksisme sehingga membentuk dan
melahirkan masyarakat teks? Pendidikan merupakan ujung tombak dan tulang
punggung pembebasan manusia dari pasungan kebodohan, kemiskinan dan kekolotan
menuju manusia yang rasional dan beradap. Budaya teksisme yang sudah mengakar pada
masyarakat menodai pola berpikir dan
mempengaruhi pola tindak masyarakat. Masyarakat yang lahir dari output
pendidikan berbau teksisme ini sangat rentan dengan pola tindak yang irasional dan tidak beradap, karena hasil
olahan mental mereka berasal dari proyek pendidikan yang tidak berkualitas. Mereka kerap kali dinilai sebagai pribadi atau golongan
yang mengidap penyakit amoral dan antisosial, tidak kreatif dan inovatif.
Keragaman
variasi pola sikap dan pola tindak seperti ini menimbulkan berbagai penyakit amoral dan asosial yang kronis bagi kehidupan bersama. Sehingga tidak
heran kalau negara kita terhitung sebagai negara yang masih berada dibawah
garis kemiskinan dan sangat rawan dengan peristiwa kebobrokan moral. Banyak
pengangguran akademis yang tidak kreatif dan inovatif, tidak berkepribadian
yang matang secara kognitif, emosional dan spiritual sehingga sangat rentan mengidap wabah penyakit amoral dan asosial. Padahal penilaian akademik mereka pada teks ijasah sangat
memuaskan, tetapi ketika mereka
terjun ke dunia
kerja dan usaha mereka kurang mampu, karena tidak didukung oleh muatan skill dan integritas pribadi yang kredibel untuk bersaing dengan yang lain. Mereka tidak mampu berwirausaha/wiraswasta karena tidak memiliki authenticity kepribadian, keterampilan dan pengetahuan sebagai tolak ukur meraih sukses.
Masyarakat indonesiapun di beri label
pada mentalnya sebagai “masyarakat teks”. Masyarakat yang memiliki segudang
ilmu dan konsep didalam otak layaknya teks/kertas putih yang digoresi tinta-tinta
yang menuliskan kekayaan makna, tetapi tidak mampu menunjukan dan
memanifestasikan ilmu atau konsep itu demi kesejahteraan dan kebahagiaan diri sendiri
dan orang lain. Sampai saat ini penerapan kurikulum berbasis
kompetensi belum total dan menyatu
dengan masyarakat pendidikan karena virus teksisme ini masih mengakar dalam
nurani dan pola pikir para stake holder
pendidikan khususnya para pendidik.
Pendidikan pada dasarnya bertujuan
untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Semboyan dan pandangan tokoh
pendidikan Ki Hajar Dewantara mesti mengakar dalam sistem pendidikan kita agar
tujuan ini tercapai. Tujuan pendidikan yang humanis harus holistik mencakup
perubahan seluruh hidup manusia jiwa dan raga. Seperti yang dijelaskan bapak Ki
Hajar Dewantara bahwa pendidikan itu harus mengolah rasa, mengolah asa dan
mengolah karsa. Pada titik ini pendidik harus menjadi teladan yang handal,
pemberi semangat dan kekuatan bagi siswa. Sehingga pada akhirnya pendidikan
melahirkan generasi bangsa yang merdeka dan berbudipekerti yang luhur serta
bijaksana.
Author: Romaldus Andi, S. Pd
Komentar
Posting Komentar